|
Almh: Oktovianus Pogau (Foto: Andreas Harsono) |
ZONAPAPUA - Nama pendiri sekaligus mantan pemimpin redaksi portal berita Suara Papua, Oktovianus Pogau, diabadikan dalam sebuah penghargaan jurnalistik oleh Yayasan Pantau, di Jakarta, Selasa (31/1/2017).
Imam Shofwan, ketua Yayasan Pantau, mengatakan, penghargaan Oktovianus Pogau dimulai pertama kali hari ini, persis setahun sesudah meninggalnya Oktovianus Pogau.
“Kami berharap agar penghargaan jurnalistik ini akan diberikan setiap tahun,” kata Sofwan, dikutip dari siaran pers Yayasan Pantau.
Dijelaskan alasannya tak lain adalah memulai penghargaan di bidang jurnalisme dan keberanian.
“Keberanian dalam jurnalisme serta keberpihakan pada orang yang dilanggar hak mereka membuat Yayasan Pantau menilai Oktovianus Pogau sebagai model bagi wartawan Indonesia yang berani dalam meliput pelanggaran hak asasi manusia.”
Tahun ini penghargaan diberikan kepada Febriana Firdaus, yang saat ini menjadi wartawan freelance, atas keberaniannya, antara lain dalam meliput tragedi 1965 hingga diskriminasi terhadap kaum LGBT, yang banyak tak dimengerti wartawan.
Menurut Sofwan, nama Oktovianus Pogau dipilih untuk penghargaan ini istimewa, selain karena reputasi pribadi Okto, juga karena reputasi portal berita yang dia dirikan lima tahun lalu.
“Suara Papua selama ini dikenal kritis dalam menyuarakan pelanggaran HAM di Papua dan sempat diblokir oleh pemerintah,” tulisnya di siaran pers itu.
Aktivitas jurnalis sebenarnya sudah dimulai Okto sejak masih status pelajar di Nabire. Portal berita Suara Papua kemudian didirikan untuk menjawab kebutuhan publik akan informasi, juga karena tak banyak media massa memberitakan soal Papua secara berimbang.
Arnoldus Belau, pemimpin redaksi Suara Papua, sepeninggal Oktovianus Papua setahun lalu, menjelaskan, portal berita Suara Papua didirikan almarhum Okto pada 10 Desember 2011, persis pada hari hak asasi manusia internasional.
Kata Belau, orang Papua bangga pada Oktovianus Pogau. Ia pemuda berani, kritis dan punya prinsip kuat. Melalui media Suara Papua, berusaha menyuarakan apa yang terjadi di Papua dari kacamata orang Papua, tentu dengan prinsip-prinsip jurnalistik yang berlaku di negara Indonesia.
Semasa hidupnya, Oktovianus Pogau yang lahir di Sugapa, pada 5 Agustus 1992, punya niat besar untuk ubah cara berpikir orang di luar sana.
Banyak sekali karya jurnalistik dari Oktovianus Pogau di media yang dipimpinnya, juga di media massa lain.
Salah satu reportase eksklusif adalah pembubaran peserta Kongres Papua III di Jayapura, Oktober 2011. Okto melaporkan tindakan represif aparat keamanan, dimuat di Jakarta Globe.
“Okto Pogau adalah wartawan pertama yang melaporkan penembakan polisi dan militer Indonesia ketika membubarkan acara yang berlangsung damai tersebut. Dia saat itu menelepon saya dan terdengar deru truk dan tembakan,” kata Shofwan.
Di tengah situasi demikian, lanjut Sofwan, Okto berani mengambil foto ketika militer dan polisi Indonesia menggunakan kekuatan secara berlebihan. Tiga orang meninggal luka tembak dan lima orang Papua dipenjara dengan vonis makar.
Kegelisahan karena tak banyak media Indonesia memberitakan pelanggaran tersebut mendorong Pogau mendirikan Suara Papua pada 10 Desember 2011.
Baru berjalan empat tahun, Pogau meninggal dunia di usia 23 tahun. Ia menghembuskan napas terakhir di rumah sakti Dian Harapan, Waena, Jayapura, 31 Januari 2016.
Bentuk Penghargaan
Yayasan Pantau mencatat Oktovianus Pogau adalah seorang penulis sekaligus aktivis yang menggunakan kata-kata untuk berdiskusi dan mengasah gagasan-gagasan politiknya.
“Dia tak pernah jadi sekadar jurnalis namun memakai pengetahuan dan jaringan perkenalannya buat mendorong advokasi hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial serta budaya orang Papua,” demikian siaran pers Yayasan Pantau.
Tak pelak, pilihan ini sering membuat pria bertubuh mungil ini menghadapi masalah. Okto bersimpati kepada Komite Nasional Papua Barat (KNPB), organisasi pemuda Papua, yang menggugat penguasaan Indonesia terhadap Papua Barat. Dia pernah menjadi anggota organisasi ini –ketika kuliah di Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, namun sadar bahwa dia harus menjaga independensi.
Okto saat menjalankan tugas jurnalistik pernah dianiaya polisi. Ia dianiaya saat meliput aksi demonstrasi KNPB di Manokwari, Oktober 2012. Organisasi wartawan tempatnya bernaung menolak melakukan advokasi. Alasannya, Pogau tak sedang melakukan liputan, namun melakukan aktivitas politik.
Ia juga sering menulis pembatasan wartawan internasional meliput di Papua Barat. Juga memprotes pembatasan pada wartawan etnik Papua maupun digunakannya pekerjaan wartawan buat kegiatan mata-mata.
Tak hanya itu. Okto secara tak langsung membuat Presiden Joko Widodo pada Mei 2015 meminta birokrasi Indonesia hentikan pembatasan wartawan asing. Sayangnya, perintah Jokowi belum dipenuhi total.
Pada 4 November 2016, Kementerian Informasi dan Komunikasi blokir website Suara Papua, media yang didirikan Okto, tanpa alasan jelas. Menurut Yayasan Pantau, ini memperlihatkan ketakutan pemerintah Indonesia akan diungkapkannya berbagai kekeliruan kebijakan yang diterapkan di Papua Barat. Blokir dibuka pada 20 Desember 2016 sesudah protes Suara Papua dan advokasi dari LBH Pers di Jakarta.
Coen Husain Pontoh, yang mengusulkan pemakaian nama Pogau, mengatakan, “Pogau berasal dari etnik minoritas, yang lebih penting dia berani mempertaruhkan nyawanya untuk melaporkan peristiwa-peristiwa yang tidak berani dilaporkan oleh wartawan lain menyangkut kekerasan militer dan polisi di Papua serta kondisi Papua sesungguhnya.”
Pemenang Penghargaan
Hari ini, Febriana Firdaus menerima penghargaan keberanian dalam jurnalisme. Ia dinilai sebagai seorang wartawan yang punya nyali meliput beberapa kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Karena itu, ia mendapatkan Penghargaan Oktovianus Pogau untuk Keberanian dalam Jurnalisme dari Yayasan Pantau.
Juri dari penghargaan ini lima orang: Alexander Mering (Gerakan Jurnalisme Kampung di Kalimantan Barat, Pontianak), Andreas Harsono (Human Rights Watch, Jakarta), Coen Husain Pontoh (Indo Progress, New York), Made Ali (Jikalahari, Pekanbaru) dan Yuliana Lantipo (Jubi, Jayapura).
Imam Shofwan yang menyerahkan plakat penghargaan dari kayu dan logam buat Febriana Firdaus menjelaskan, mantan jurnalis Jawa Pos ini meliput tragedi 1965, sesuatu yang sulit sekali, sampai diskriminasi terhadap kaum LGBT, yang banyak tak dimengerti wartawan.
“Dia haus pengetahuan dan berani. Dia punya kualitas wartawan bermutu,” kata Shofwan.
Diakui, Febriana mencerminkan keberanian yang juga diperlihatkan Oktovianus Pogau. “Ini upaya kecil memajukan jurnalisme dan menyemangati wartawan-wartawan muda untuk setia pada jurnalisme bermutu,” ujarnya.
Jurnalis kelahiran Kalisat di Kabupaten Jember pada 1983 itu menyelesaikan studi di Universitas Airlangga, Surabaya, pada tahun 2007. Setelah bekerja di harian Jawa Pos, lantas lima tahun bekerja buat Tempo di Jakarta sampai 2014 termasuk ikut bagian investigasi Tempo.
Setelahnya Febriana pindah ke multimedia Rappler, perusahaan asal Manila, cabang Jakarta. Pada Juni 2016, ketika meliput protes Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) terhadap seminar anti-pengungkapan tragedi 1965, Febriana diintimidasi segerombolan orang Front Pembela Islam. Rappler dituduh pro-komunis maupun pro-LGBT. Febriana memutuskan mundur dari Rappler karena beda pendapat soal prosedur liputan 1965. Dia kini menulis freelance buat BBC, Jakarta Post, Time dan Vice serta ikut tim redaksi blog Ingat 65.
Sekedar diketahui, Yayasan Pantau organisasi yang bertujuan meningkatkan mutu jurnalisme di Indonesia. Ia didirikan pada 1999, mulanya berupa majalah Pantau hingga 2003, lantas lebih banyak bikin pelatihan jurnalisme, riset media dan penerbitan buku soal jurnalisme. (Sumber: SUARAPAPUA.com)