JAYAPURA, ZONAPAPUA - Duta Besar Amerika Serikat untuk
Indonesia, Joseph R. Donovan, hari ini (7/3) bertemu dengan sejumlah
tokoh Kristen dan Muslim di Papua di Swissbell Hotel, Jayapura. Dalam
pertemuan itu dubes yang baru bekerja tiga bulan di Indonesia mendengar
dan meminta masukan tentang permasalahan di Papua, termasuk masalah
tambang tembaga dan emas Freeport.
Tokoh-tokoh yang bertemu dengan Dubes AS adalah Ketua Nahdlatul Ulama
Papua, Toni Wanggai, Guru Besar Universitas Cendrawasih, Prof Dr.
Partino, Ketua Umum Badan Pelayan Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua
(PGBP), Pdt Socratez Sofyan Yoman, Ketua Ketua Sinode Kingmi di Tanah Papua,
Pdt Benny Giay, Presiden Gereja Injili di Indonesia (GIDI), Pdt Dorman
Wandikbo dan Wakil Ketua Umum Sinode Gereja Kristen Injili di Tanah
Papua, Pdt. Jemima J.Mirino-Krey.
Adanya pertemuan itu dibenarkan oleh Pdt Socratez Yoman dan Pdt Benny
Giay."Ya, tadi pagi bertemu di Swissbell Hotel Jayapura," kata Socratez
kepada media.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Pdt Benny Giay. Menurut dia, dalam
pertemuan itu banyak hal yang dibicarakan oleh dubes. Antara lain, dubes
menyinggung tentang rencana pemerintah untuk membangun asrama di Papua.
Topik lain yang dibahas adalah bagaimana memberdayakan perekonomian
penduduk asli Papua. Juga tak luput dari pembicaraan adalah masalah
Freeport.
"Karena tadi banyak orang dan banyak yang bicara, saya tidak bisa menangkap semua pembicaraan," kata Benny Giay.
Kendati demikian, Benny mengatakan dalam membicarakan Freeport Dubes
Donovan mengajukan pertanyaan yang lebih mendasar, bila dibandingkan
dengan duta besar-duta besar AS sebelumnya yang berkunjung ke Papua.
Benny mengatakan, Dubes Donovan antara lain menyinggung tentang sejarah
awal Freeport di Indonesia.
Menurut Benny, dalam pembicaraan tentang Freeport, Dubes AS
mengatakan keyakinannya bahwa pemerintah RI dan Freeport akan mencapai
kesepakatan. "Dia optimistis bahwa dua pihak ini akan duduk bersama,"
tutur Benny.
Kendati demikian Benny mengatakan dirinya memberikan pendapat yang
berbeda. Benny mengatakan adalah naif bila RI dan Freeport dapat duduk
bersama tanpa mempertimbangkan kebangkitan aspirasi rakyat Papua dan
tidak mengikutkan rakyat Papua dalam membicarakan Freeport.
"Selama ini Papua seperti tidak eksis. Hal itu tidak boleh lagi. Ada
gerakan kebangkitan di Papua yang mengerucut dengan lahirnya United
Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Ini harus dipertimbangkan
dalam membicarakan masalah Freeport maupun masalah Papua secara umum,"
kata Benny Giay.
Di bagian lain diskusi itu, Giay menyampaikan kepada dubes tentang
pandangannya mengenai bagaimana seharusnya pembangunan dilakukan di
Papua. Menurut dia, harus dimulai dengan memperbaiki paradigma Jakarta
dalam memandang Papua.
Ada berbagai masalah yang dihadapi oleh Papua yang diungkapkan dubes
dalam pembicaraan. Di antaranya adalahi penembakan-penembakan, gizi
buruk dan kepincangan sosial. Namun itu semua, kata Benny Giay,
berpulang kepada bagaimana relasi antara Jakarta dan Papua.
"Apakah Jakarta masih berpendapat bahwa mereka yang lebih beradab,
bangsa yang maju yang berhak menentukan nasib orang Papua? Padahal
barangkali orang Papua tidak melihat Jakarta dengan posisi seperti itu.
Rakyat Papua harus diberikan kesempatan merumuskan keinginannya. Selama
ini hal itu tidak diberi ruang," tutur dia.
Menurut dia, selama ini Jakarta dalam relasi dengan orang Papua hanya
meminta ketaatan dan mengikuti perintah. "Rakyat Papua tak pernah punya
kesempatan merumuskan pandangannya sendiri. Terlanjur terstigma dengan
tuduhan separatis. Akibatnya hasil pembangunan sia-sia. Banyak dana
habis tetapi tidak ada hasilnya. Pembangunan tidak jalan, karena tidak
pernah meninjau bagaimana relasi itu berlangsung," kata Benny.
Editor : Eben E. Siadari
No comments:
Post a Comment