Oleh Marinus Yaung
JAYAPURA, ZONAPAPUA – PRA
kondisi menuju referendum di Papua sudah terjadi saat ini, dan Presiden
Jokowi sepertinya tidak pernah mau menyoroti akar utama persoalan
Papua–yang sesungguhnya persoalan tersebut telah dirancang secara masif
dan sistematis untuk menjadi batu pijakan utama politik referendum
mendapat tempat pijakannya.
(Sumber: tabloidjubi.com)
Ilustrasi Bendera Bintang Kejora – Jubi/Victor Mambor |
Setiap
kali kunjungan ke Papua, Presiden Jokowi selalu menghindar untuk
memberikan pernyataan atau sekedar klarifikasi terhadap komitmennya
dalam menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua. Padahal sudah menjadi
rahasia umum bahwa pelanggaran-pelanggaran HAM di Papua adalah isu yang
dimainkan oleh pihak-pihak di dalam dan luar negeri untuk melepaskan
Papua dari Indonesia.
Isu ini
selalu ditiupkan untuk dijadikan panggung politik oleh pihak-pihak yang
menginginkan terbentuknya dukungan internasional terhadap referendum di
Papua.
Pernyataan
Presiden Jokowi tentang komitmen dan keseriusan pemerintahannya dalam
menyelesaikan seluruh pelanggaran HAM di Papua dan memberikan perhatian
penuh terhadap nasib korban dan keluarga korban, sebenarnya sedang
ditunggu-tunggu oleh sebagian besar masyarakat Papua, yang selama ini
bersikap apatis dan selalu bertindak resisten terhadap kebijakan
Pemerintah.
Memang
baik dan benar juga, terobosan-terobosan pembangunan infrastruktur dan
pemerataan ekonomi yang berkeadilan sosial agar harga barang di Papua
sama dengan harga barang di pulau Jawa, yang lebih dipilih dan
dikedepankan Presiden Jokowi untuk dikerjakan duluan di Papua
dibandingkan menuntaskan isu pelanggaran HAM. Tetapi dibutuhkan tindakan
cepat dan tepat dan tidak bisa ditangani dengan pendekatan parsial
semata. Perlu dibarengi pendekatan simultan dengan menggerakkan
kementerian-kementerian dan lembaga-lembaga terkait untuk bersama-sama
menggarap Papua.
Sudah
saatnya Presiden Jokowi menjadikan isu pelanggaran HAM Papua sebagai isu
prioritas dan segera dituntaskan sebelum situasi politik tahun 2017 di
Papua berkembang menjadi tuntutan politik yang lebih besar.
Masyarakat
Papua sudah sangat kecewa dengan janji dan komitmen Presiden Jokowi
melalui Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Luhut Bansar
Pandjaitan (LBP), yang dengan serius mengatakan bahwa pelanggaran HAM
Papua akan segera tuntas hingga selesai dalam tahun 2016, agar negara
dalam menata masa depan tidak lagi terbebani dengan akar masalah Papua.
Pembentukan
tim terpadu penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia,
termasuk kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu di Papua oleh
Kemenkopolhukam tahun 2016 sebenarnya telah menumbuhkan harapan besar
akan datangnya keadilan bagi korban-korban pelanggaran HAM di Papua.
Presiden
Jokowi melalui Menkopolhukam telah memutuskan untuk menjadikan 3 kasus
besar pelanggaran HAM di Papua, yang telah dilakukan penyelidikan dan
diputuskan memenuhi norma-norma pelanggaran HAM berat oleh Kombas HAM
RI, yakni, kasus Wasior berdarah (2001), Wamena berdarah (2003), dan
kasus Paniai berdarah (2014) untuk terlebih dahulu dituntaskan.
Meskipun
banyak kasus pelanggaran HAM terjadi di Papua, Pemerintah telah
memutuskan untuk mendorong tiga kasus besar yang menarik perhatian
publik ini untuk diselesaikan terlebih dulu melalui jalur yudisial,
dengan tujuan:
Pertama, untuk memulihkan kepercayaan
rakyat Papua terhadap negara dan Pemerintah. Karena ketidakpercayaan
kepada Pemerintah merupakan salah satu akar persoalan yang membuat
kebijakan Pemerintah selalu ditentang dan proses pembangunan selalu
terhambat karena gangguan keamanan dan ketidakstabilan sosial dan
politik di Papua;
Kedua,
untuk membuktikan kepada orang Papua bahwa pelaku pelanggaran HAM di
Papua bukanlah pahlawan nasional yang harus diberikan kedudukan istimewa
dalam hukum yang berlaku di negara Republik Indonesia dengan
menempatkan pelaku sebagai pihak yang tidak bisa disentuh hukum dan
memiliki hak impunitas;
Ketiga,
untuk menghentikan internasionalisasi isu Papua di negara-negara
pasifik, Australia, Afrika, Eropa, dan Amerika Serikat. Wasior berdarah,
Wamena berdarah dan Paniai berdarah merupakan kasus-kassus pelanggaran
HAM yang telah dipromosikan ke luar negeri dan lembaga-lembaga
internasional, seperti, Melanesian Spreadhead Group (MSG ), Pacific
Islands Forum (PIF), dan Pacific Coalition for West Papua (PCWP) di
Pasifik Selatan, oleh pihak-pihak yang masih berseberangan pandangan
dengan pemerintah dan menginginkan Papua merdeka.
Kelompok-kelompok
perlawanan seperti West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL)
yang terbentuk di Vanuatu tahun 2005, Komite Nasiona Papua Barat (KNPB)
yang dilahirkan di Kota Jayapura tahun 2008 oleh generasi muda Papua
korban operasi militer dengan sandi operasi koteka (1975-1980), Parlemen
National for West Papua (PNWP) yang dibentuk tahun 2012 di London,
Inggris oleh koalisi bersama antara OPM dalam negeri dengan beberapa
pengacara internasional dan anggota parlemen internasional dari beberapa
negara, dan setahun kemudian mendirikan kantor perwakilan OPM di Oxford
Inggris, dan kelompok Negara Republik Federasi Papua Barat (NRFPB) yang
dibentuk melalui Kongres Rakyat Papua III tahun 2011 di Jayapura–adalah
sekumpulan kelompok perlawanan yang berhasil melobi dan mempromosikan
kasus-kasus pelanggaran HAM di Wasior, Wamena dan Paniai ke masyarakat
internasional untuk memperoleh dukungan politiknya.
Kelompok besar ini kemudian melebur
dalam satu wadah perjuangan dengan membentuk United Liberation Movement
for West Papua (ULMWP) akhir 2014 di Vanuatu. Melalui ULMWP perkembangan
perjuangan tiga kasus HAM Papua yang diprioritaskan pemerintah untuk
diselesaikan, tetapi belum ada realisasinya, semakin kencang di
kampanyekan ke luar negeri untuk mendiskreditkan Indonesia dalam isu HAM
dan demokrasi dan semakin berhasil mendapat dukungan internasional,
dimana ULMWP akhirnya diterima sebagai anggota organisasi MSG dengan
status sebagai pengamat (obsever) dalam sidang MSG Leadership summit di
Honiara, Solomon Island tahun 2015.
Melihat
keberhasilan orang Papua dalam menjual isu HAM ke luar negeri yang
semakin mengkhawatirkan posisi Papua dalam NKRI, maka penuntasan ketiga
kasus pelanggaran HAM ini harus semakin diseriusi oleh Presiden Jokowi.
Seharusnya
tigas kasus HAM itu sudah diselesaikan dan tuntas tahun 2016 sesuai
dengan janji dan komitmen Presiden Jokowi. Namun hingga Desember 2016
belum ada satu kasus pun yang sampai ke persidangan.
Seyogianya
kasus Wasior berdarah dan Wamena berdarah bisa diajukan ke pengadilan
untuk disidangkan, karena berkas perkara kedua kasus ini dalam tingkat
penyelidikan di Komnas HAM sudah lengkap dan sudah diajukan ke tingkat
penyidikan di Kejaksaan Agung (KA). Hanya karena perbedaan tafsir
tentang kriteria pelanggaran HAM berat dan bukan pelanggaran HAM berat
antara dua lembaga penegakan hukum inilah yang mengakibatkan
ketidakjelasan perkembangan penyelesaian hukum dua kasus HAM ini.
Presiden Jokowi seharusnya berdiri paling depan untuk segera menentukan
pilihan penyelesaian kedua kasus ini.
Semakin
tidak jelas penuntasannya dalam tahun ini, maka akan semakin membuka
peluang besar buat ULMWP diterima sebagai anggota penuh di MSG. Komitmen
nyata Presiden Jokowi terhadap orang Papua diukur dari pilihan hukum
yang diambil untuk menuntaskan kasus ini.
Jika kasus
Wasior berdarah, Wamena berdarah, dan Paniai berdarah tak selesai, maka
akan semakin sulit bagi Presiden Jokowi untuk merebut hati dan pikiran
orang Papua. Di samping itu, internasionalisasi isu Papua akan semakin
tak terbendung lagi. Peluang ULMWP berubah status keanggotaanya di MSG
semakin besar, dan isu pelanggaran HAM Papua akan semakin kencang, dan
semakin banyak negara yang ikut menyoroti Indonesia di forum-forum
internasional.
Presiden
Jokowi perlu merenungkan bahwa pendekatan pemerataan pembangunan ekonomi
dan kesejahteraan sejauh ini belum cukup kuat untuk meredam gejolak
politik di Papua. Belum berdampak signifikan juga terhadap penghentian
isu Papua di luar negeri.
Presiden
Jokowi juga harus membuka diri dengan mempertimbangkan
pendekatan-pendekatan alternatif lain, seperti dialog Papua (dialog
antara Pemerintah dengan OPM), sebagaimana digagas Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Jaringan Damai Papua ( JDP ) atau
pendekatan ekonomi dan kesejahteraan yang ditawarkan Gubernur Papua
Lukas Enembe melalui konsep UU Otsus Plus.
Presiden
Jokowi harus bisa mengakomodir semua pendekatan ini dalam satu grand
design yang menyeluruh dan komprehensif untuk menjawab masalah-masalah
dan tantangan di Papua. Presiden Jokowi satu-satunya simbol politik di
negeri ini yang masih dipercaya oleh orang Papua. Presiden jangan
memberikan panggung politik untuk referendum di Papua dengan mengabaikan
penuntasan tiga kasus pelanggaran HAM di atas dengan tidak membuka diri
untuk mengakomodir pendekatan-pendekatan lain di luar yang sudah
dipilih Pemerintah. Komitmen dan ketegasan Presiden Jokowi dalam
menuntaskan kasus pelanggaran HAM Papua harus menjadi pendekatan
prioritas terhadap Papua tahun 2017.
Penulis adalah dosen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Cenderawasih (Uncen)
No comments:
Post a Comment