Foto Bakar batu Masyarakat Papua |
WAMENA, ZONAPAPUA –
Pesta Bakar Batu mempunyai makna tradisi bersyukur yang unik dan khas.
dan merupakan sebuah ritual tradisional Papua yang dilakukan sebagai
bentuk ucapan syukur atas berkat yang melimpah, pernikahan, penyambutan
tamu agung, dan juga sebagai upacara kematian. Selain itu, upacara ini
juga dilakukan sebagai bukti perdamaian setelah terjadi perang
antar-suku.
Sesuai dengan namanya, dalam memasak dan
mengolah makanan untuk pesta tersebut, suku-suku di Papua menggunakan
metode bakar batu. Tiap daerah dan suku di kawasan Lembah Baliem
memiliki istilah sendiri untuk merujuk kata bakar batu. Masyarakat
Paniai menyebutnya dengan gapii atau ‘mogo gapii‘, masyarakat Wamena
menyebutnya kit oba isago, sedangkan masyarakat Biak menyebutnya dengan
barapen. Namun tampaknya barapen menjadi istilah yang paling umum
digunakan.
Pesta Bakar
Batu juga merupakan ajang untuk berkumpul bagi warga. Dalam pesta ini
akan terlihat betapa tingginya solidaritas dan kebersamaan masyarakat
Papua. Makna lain dari pesta ini adalah sebagai ungkapan saling
memaafkan antar-warga.
Prosesi
Pesta Bakar Batu biasanya terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap
persiapan, bakar babi, dan makan bersama. Tahap persiapan diawali dengan
pencarian kayu bakar dan batu yang akan dipergunakan untuk memasak.
Batu dan kayu bakar disusun dengan urutan sebagai berikut, pada bagian
paling bawah ditata batu-batu berukuran besar, di atasnya ditutupi
dengan kayu bakar, kemudian ditata lagi batuan yang ukurannya lebih
kecil, dan seterusnya hingga bagian teratas ditutupi dengan kayu.
Kemudian tumpukan tersebut dibakar hingga kayu habis terbakar dan batuan
menjadi panas. Semua ini umumnya dikerjakan oleh kaum pria.
Pada saat
itu, masing-masing suku menyerahkan babi. Lalu secara bergiliran kepala
suku memanah babi. Bila dalam sekali panah babi langsung mati, itu
merupakan pertanda bahwa acara akan sukses. Namun bila babi tidak
langsung mati, diyakini ada yang tidak beres dengan acara tersebut.
Apabila itu adalah upacara kematian, biasanya beberapa kerabat keluarga
yang berduka membawa babi sebagai lambang belasungkawa. Jika tidak
mereka akan membawa bungkusan berisi tembakau, rokok kretek, minyak
goreng, garam, gula, kopi, dan ikan asin. Tak lupa, ketika mengucapkan
belasungkawa masing-masing harus berpelukan erat dan berciuman pipi.
Foto Bakar batu Masyarakat Papua |
Di lain
tempat, kaum wanita menyiapkan bahan makanan yang akan dimasak. Babi
biasanya dibelah mulai dari bagian bawah leher hingga selangkang kaki
belakang. Isi perut dan bagian lain yang tidak dikonsumsi akan
dikeluarkan, sementara bagian yang akan dimasak dibersihkan. Demikian
pula dengan sayur mayur dan umbi-umbian.
Kaum pria yang lainnya mempersiapkan
sebuah lubang yang besarnya berdasarkan pada banyaknya jumlah makanan
yang akan dimasak. Dasar lubang itu kemudian dilapisi dengan alang-alang
dan daun pisang. Dengan menggunakan jepit kayu khusus yang disebut
apando, batu-batu panas itu disusun di atas daun-daunan. Setelah itu
kemudian dilapisi lagi dengan alang-alang. Di atas alang-alang kemudian
dimasukan daging babi. Kemudian ditutup lagi dengan dedaunan. Di atas
dedaunan ini kemudian ditutup lagi dengan batu membara, dan dilapisi
lagi dengan rerumputan yang tebal.
Setelah itu,
hipere (ubi jalar) disusun di atasnya. Lapisan berikutnya adalah
alang-alang yang ditimbun lagi dengan batu membara. Kemudian sayuran
berupa iprika atau daun hipere, tirubug (daun singkong), kopae (daun
pepaya), nahampun (labu parang), dan towabug atau hopak (jagung)
diletakkan di atasnya. Tidak cukup hanya umbi-umbian, kadang masakan itu
akan ditambah dengan potongan barugum (buah). Selanjutnya lubang itu
ditimbun lagi dengan rumput dan batu membara. Teratas diletakkan daun
pisang yang ditaburi tanah sebagai penahan agar panas dari batu tidak
menguap.
Sekitar 60
hingga 90 menit masakan itu sudah matang. Setelah matang, rumput akan
dibuka dan makanan yang ada di dalamnya mulai dikeluarkan satu persatu,
kemudian dihamparkan di atas rerumputan. Sesudah makanan terhampar di
atas, ada orang yang akan mengambil buah merah matang. Buah itu
diremas-remas hingga keluar pastanya. Pasta dari buah merah dituangkan
di atas daging babi dan sayuran. Garam dan penyedap rasa juga ditaburkan
di atas hidangan.
Kini tibalah
saatnya bagi warga untuk menyantap hidangan yang telah matang dan
dibumbui. Semua penduduk akan berkerumun mengelilingi makanan tersebut.
Kepala Suku akan menjadi orang pertama yang menerima jatah berupa ubi
dan sebongkah daging babi. Selanjutnya semua akan mendapat jatah yang
sama, baik laki-laki, perempuan, orang tua, maupun anak-anak. Setelah
itu, penduduk pun mulai menyantap makanan tersebut.
Pesta Bakar
Batu merupakan acara yang paling dinantikan oleh warga suku-suku
pedalaman Papua. Demi mengikuti pesta ini mereka rela menelantarkan
ladang dangan tidak bekerja selama berhari-hari. Selain itu, mereka juga
bersedia mengeluarkan uang dalam jumlah yang besar untuk membiayai
pesta ini.
Pesta ini sering dilaksanakan di kawasan Lembah Baliem, Distrik Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Indonesia.
Namun,
kepastian titik lokasi dilaksanakannya ini tidak menentu. Jika sebagai
upacara kematian maupun pernikahan, pesta ini akan dilaksanakan di rumah
warga yang memiliki hajatan. Namun, bila upacara ini sebagai ucapan
syukur atau simbol perdamaian biasanya akan dilaksanakan di tengah
lapangan besar. Semoga bermanfaat.
No comments:
Post a Comment